Indeks

Dampak Kebijakan Power Wheeling dari Perspektif Legal, Transisi Energi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Power Wheeling : Benalu dalam Transisi Energi Nasional !!! TOLAK POWER WHEELING !!!

Jakarta, 06 September 2024 – Power Wheeling, sebuah konsep yang telah lama dikenal dalam
struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan
kebijakan energi Indonesia. Skema yang menciptakan mekanisme Mul/ Buyer Mul/ Seller
(MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka
atau langsung ke konsumen akhir. Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni
Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.

Wholesale Wheeling terjadi keJka pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual
energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.
Sementara itu, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung
ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya. Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi
dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik
dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee”.

Namun, penerapan Power Wheeling dipandang dapat menimbulkan dampak negatif signifikan,
baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi. Berikut analisis dampak Power
Wheeling berdasarkan berbagai perspektif.

A. Dampak Keuangan :

  1. Penurunan Permintaan Organik dan Non-Organik
    Power Wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan
    permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%.
    Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung
    negara.
  2. Beban Keuangan Negara
    SeJap 1 GW (gigawaX) pembangkit listrik yang masuk melalui skema Power Wheeling
    diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup
    cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Dampak akumulatif hingga
    2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun
    menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun.

B. Dampak Hukum

  1. Kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022
    Power Wheeling merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan
    unbundling. Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah
    dibatalkan oleh Mahkamah KonsJtusi pada tahun 2004.
  2. Mereduksi Peran Negara
    Skema ini juga akan menciptakan kompeJsi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk
    kepenJngan umum, yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga
    kepenJngan umum di sektor ketenagalistrikan.
  3. Potensi Sengketa
    Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan
    volume yang dapat berdampak pada terhenJnya pasokan listrik (blackout) dan
    merugikan masyarakat luas.

C. Dampak Teknis

  1. Memperparah Oversupply
    Saat ini, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply.
    Penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi ini, terutama karena
    pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan
    Jdak stabil.
  2. Meningkatkan Risiko Blackout
    Power Wheeling yang bersumber dari EBT memerlukan spinning reserve tambahan
    untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok
    Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen.

D. Dampak Terhadap Ketahanan Energi

  1. Ketersediaan Akses Listrik
    Dengan meningkatnya risiko blackout, jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit
    dicapai. Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat.
  2. Harga Listrik yang Tidak Terjangkau
    Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve akan
    meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan
    membebani konsumen serta APBN.
  3. Emisi Rendah
    Dengan prioritas Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada
    pembangunan pembangkit EBT sebesar 51,6%, Jdak ada urgensi untuk menerapkan
    Power Wheeling. Hal ini sesuai dengan rencana Net Zero Emission 2060 tanpa
    menambah risiko dari berbagai aspek.

Konsep Power Wheeling dikhawaJrkan akan digunakan dalam skema liberalisasi penyediaan
listrik untuk kepenJngan umum, yang pada akhirnya berpotensi melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD
1945, di mana cabang-cabang produksi yang penJng bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara.

Latar Belakang Legal Power Wheeling dan PrivaSsasi Energi
Power Wheeling berakar pada pola unbundling, yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah KonsJtusi (MK) telah membatalkan konsep
unbundling ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015, karena dianggap bertentangan
dengan peran negara dalam sektor kelistrikan. Kemunculan kembali skema Power Wheeling
dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya
liberalisasi yang melanggar konsJtusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis
ini.

Selain itu, terdapat indikasi adanya upaya privaJsasi besar-besaran di sektor kelistrikan melalui
pasal – pasal tertentu dalam RUU EBT. PrivaJsasi ini memungkinkan peran swasta lebih dominan
dalam penyediaan energi terbarukan, meskipun tujuan awal dari RUU tersebut adalah untuk
mendorong transisi energi menuju netral karbon pada tahun 2060. Liberalisasi ini dapat
mereduksi peran negara dan berpotensi membahayakan ketahanan energi nasional.

Studi Kasus Filipina: Pelajaran dari PrivaSsasi dan Power Wheeling
Filipina telah lebih dahulu menerapkan skema Power Wheeling dan privaJsasi sektor
ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001.
Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan
Power Wheeling. Berikut beberapa tantangan yang dialami Filipina yang perlu diperhaJkan dalam
konteks Indonesia:

1. Kenaikan Harga Listrik
Sejak penerapan skema Power Wheeling di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan
sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi
lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan
berdasarkan mekanisme pasar.

2. Potensi Terbentuknya Kartel
Power Wheeling memungkinkan produsen listrik swasta menjual langsung ke konsumen
dan menetapkan harga sesuai dengan dinamika pasar. Hal ini membuka peluang bagi
pembentukan kartel yang dapat memonopoli harga dan mengurangi persaingan sehat di
sektor ketenagalistrikan.

3. Keberlanjutan Pasokan Listrik
Filipina menghadapi krisis energi dan sering mengalami pemadaman listrik setelah
privaJsasi sektor kelistrikan. Tantangan serupa bisa terjadi di Indonesia jika pasokan listrik
Jdak dijaga dengan baik, dan intermitensi dari pembangkit energi baru terbarukan dapat
mengganggu keandalan sistem.

4. Beban APBN
Di Indonesia, Power Wheeling berpotensi menambah beban APBN secara signifikan.
Skema ini diperkirakan akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30%
dan non-organik hingga 50%. Akibatnya, biaya produksi listrik naik, sementara pemerintah
harus menanggung kompensasi besar untuk menjaga tarif listrik tetap terjangkau.
Tantangan-Tantangan Lain yang Dihadapi Indonesia

Selain belajar dari pengalaman Filipina, Indonesia perlu menghadapi beberapa tantangan utama
dalam implementasi Power Wheeling, termasuk:

1. Regulasi yang Mendukung:
Diperlukan kerangka hukum yang jelas dan tegas untuk memasJkan kepasJan hukum
dalam hubungan antara PLN, produsen listrik swasta, dan konsumen. Regulasi yang tepat
juga diperlukan untuk menghindari potensi pembentukan kartel di sektor
ketenagalistrikan.

2. Keberlanjutan Investasi
Power Wheeling membutuhkan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur
ketenagalistrikan. Pemerintah harus memasJkan adanya kepasJan investasi yang cukup
untuk mendorong minat produsen listrik swasta dalam berinvestasi.

3. Beban Subsidi Listrik
Dengan skema Power Wheeling, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan
penawaran (demand and supply). KeJka permintaan Jnggi dan pasokan tetap, tarif listrik
pasJ naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.

4. Keberlanjutan Pasokan
PLN harus menanggung beban tambahan dari spinning reserve dan intermitensi
pembangkit energi baru terbarukan. Ini akan mempengaruhi biaya pokok produksi (BPP)
listrik, yang dapat berujung pada kenaikan tarif listrik untuk konsumen atau peningkatan
subsidi dari APBN.

Penerapan Power Wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN,
dan konsumen secara akumulaJf. Oleh karena itu, Power Wheeling dinilai lebih sebagai “benalu”
dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi
negara.

Dengan memperhaJkan berbagai perspekJf ini, kebijakan Power Wheeling sebaiknya diJnjau
kembali agar dampak negaJf yang mungkin Jmbul dapat diminimalisir, demi menjaga kestabilan
dan ketahanan energi nasional serta melindungi kepentingan ekonomi negara dan masyarakat.
(DIMS)

Exit mobile version