Pasang Surut Lada di Beltim, dari Harga Jual hingga Mahalnya Pupuk Akibat Perang Rusia – Ukraina

Pasang Surut Lada di Beltim, dari Harga Jual hingga Mahalnya Pupuk Akibat Perang Rusia - Ukraina (1)

Beltimnews.com – Ibarat Timah, Lada merupakan salah satu tanaman yang dianugerahkan untuk hidup dan banyak memberi manfaat dalam menopang kehidupan masyarakat di Pulau Belitung. Namun, layaknya timah, lada juga mengalami pasang surut.

Penyebab pasang surut tersebut tak lain dari segi harga lada yang fluktuatif. Belum lagi biaya pemeliharaan lada yang tak murah maupun kesediaan kayu sebagai tajar atau tiang panjat yang oleh masyarakat lokal menyebutnya “junjongan”.

Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah eksistensi para petani lada yang kian waktu kian berkurang bahkan dikhawatirkan hilang.

Menurut Plt Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distangan) Kab. Belitung Timur Trijaka Priyono, perkembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Timur saat ini mengalami degradasi. Hal ini terindikasi dari penurunan luas lahan yang sebelumnya mencapai 6800-an hektar kini hanya 4300-an hektar saja. Sehingga dapat disimpulkan luasan lahan yang menjadi garapan petani lada mengalami penurunan yang signifikan.

Entah petani tersebut beralih ke tanaman lain atau memang generasi milenial sebagai penerus kini tak tertarik untuk menjalani profesi petani lada ini. Sebab, kebanyakan petani lada pada umumnya didominasi oleh para generasi lama yang sebagian besar telah memasuki usia senja.

Apapun alasannya, tanaman lada merupakan salah satu tanaman yang telah mem-branding Pulau Belitung selain Timah.

Bagaimana tidak, lada yang dihasilkan para petani di Belitung ini diakui memiliki keunikan tersendiri. Baik dari segi rasanya yang pedas dan aromanya yang kuat, maupun kualitasnya yang tidak dimiliki oleh pesaing lada-lada yang berada di dalam negeri ini maupun luar negeri.

Namun, sangat disayangkan sekali lada yang kualitas bukan kaleng-kaleng ini, perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh masyarakat kita di Belitung.

Lada dan Problematikanya di Lapangan Saat Ini

Keresahan terbesar petani lada saat ini ialah persoalan harga jual lada yang dinilai rendah. Sementara, biaya pemeliharaan tergolong mahal. Salah satunya pupuk yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman lada ini.

“Paling susah sekarang ya, karena harga lada murah sedangkan pupuk mahal. Nggak seimbang dapat untungnya. Malahan rugi kalau dihitung-hitung,” ujar Pasutri (pasangan suami istri) Abdullah dan Anita saat diwawancarai Beltim News, Selasa (02/08/2022).

Pasutri yang telah berkecimpung menjadi petani lada selama 25 tahun di Desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang, Kabupaten Belitung Timur ini mengatakan bahwa sudah merasakan manis dan pahit di lapangan dalam merawat tanaman lada ini.

Mereka menilai yang paling berat selama 25 tahun ini ialah kebijakan pemerintah meniadakan pupuk subsidi khusus petani lada, sedangkan harga jual pupuk non-subsidi kini terbilang mahal. Itu tak berbanding dengan harga jual lada yang hanya berkisar di angka 70 ribuan rupiah per kilogram.

“Selain pupuk organik, lada perlu pupuk kimia. Organik diperlukan saat baru menanam, fungsinya agar lada tumbuh subur atau meminimalisir kejadian rumpun lada yang terlihat menguning. Namun, untuk membesarkan lada ini hingga dia bisa bertumbuh dan berbuah dengan baik, tidak bisa hanya mengandalkan pupuk organik. Perlu pupuk kimia seperti urea, NPK dan KCL,” ujar Abdullah.

Lebih lanjut, Abdullah mengatakan mungkin dengan pupuk organik tanaman lada ini bisa hidup dan berbuah. Namun, produktivitas pertumbuhan dan pembuahan lada tidak bisa maksimal seperti dengan bantuan pupuk kimia.

Jadi, istilahnya kalau mau produktivitasnya baik perlu ada kesinambungan untuk pemberian pupuk organik dan kimia yang digunakan setidaknya tiga kali dalam setahun. Tentu, sekali penggunaannya tidak sedikit, minimal pupuk kimia yang digunakan 1 kilogram untuk satu rumpun tanaman lada yang hendak berbuah.

“Bisa dibayangkan kalau rumpun tanamannya banyak, kayak gimana tuh kan pengeluarannya,” imbuh Abdullah.

Selain itu, keresahan masyarakat lainnya ialah penyakit-penyakit yang menyerang tanaman lada ini.

“Biasalah, kendala atau persoalan nanam lada ini nggak jauh dari lada yang menguning, ulat buku, ulat pucuk, daun yang menghitam,” ujar Kur saat ditanya Beltimnews.com.

Kur yang telah menanam lada selama empat tahun di Desa Aik Madu, Kecamatan Simpang Renggiang, Kabupaten Belitung Timur ini mengakui kendala terbesarnya dalam bertani lada ialah kewalahan atas penyakit-penyakit yang menyerang tanaman lada ini di samping persoalan lain seperti harga jual lada yang rendah dan pupuk yang mahal.

Ketiga petani lada yang berbeda tempat menanam lada ini mengakui bahwa permasalahan-permasalahan yang dipaparkan mereka tersebut sangat mempengaruhi produktivitas hasil panen baik di masa kini maupun yang akan datang sehingga mereka mengharap ada itikad baik pemerintah untuk menyelesaikan atau mencari jalan keluar dari keresahan-keresahan para petani lada.

Solusi Pemerintah Terhadap Problematika Lada

Menurut Trijaka Priyono, persoalan petani lada ini cukup menjadi hal yang mengkhawatirkan. Menanggapi keresahan-keresahan yang tengah terjadi, lantas ia juga memamparkan solusi yang bisa dilakukan oleh para petani lada saat ini.

“Pada dasarnya memang para petani lada ini menggunakan pupuk subsidi sebelum terbitnya peraturan dari Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022 yang telah diberlakukan pada 18 Juli 2022 lalu. Tentu ini mungkin sangat merugikan bagi petani lada sebab bantuan pupuk subsidi ini kini diberikan dan difokuskan untuk petani yang menanam di sektor tanaman pangan dan holtikultura yang menyebabkan inflasi serta tanaman perkebunan yang tidak atau sulit bisa ekspor,” ujar Trijaka menanggapi persoalan pupuk bagi petani lada saat ditemui Beltim News Selasa (02/08/2022).

Ia juga mengatakan bahwa memang dengan ada kenaikan harga pupuk non-subsidi yang kini melambung tinggi mencapai harga 850-an ribu untuk NPK dan KCL serta 520-an ribu untuk Urea akan sangat memberatkan petani lada yang tidak lagi mendapat pupuk subsidi.

Namun, itu bukan tanpa sebab, ia menilai perang Rusia dengan Ukraina merupakan salah satu persoalan yang menyebabkan pupuk non-subsidi saat ini mahal. Hal ini karena Indonesia tidak mempunyai bahan baku pembuatan untuk zat kimia dalam pupuk non-subsidi tersebut dimana bahan-bahan baku ini seperti fosfat misalnya berasal dari Rusia.

Sehingga pemerintah mengupayakan untuk menggunakan apa yang ada di dalam negeri agar dipacu untuk dapat dimanfaatkan seperti menggunakan pupuk organik yang dianggap akan menghasilkan produksi hasil tanaman lebih sehat.

“Nah dengan kendala harga lada yang rendah dan pupuk kimia yang mahal ini petani diharapkan untuk bisa melakukan inovasi kembali menggunakan apa yang alam sediakan. Asal ada kemauan dan sabar, sebenarnya semua ada jalan keluar termasuk soal pupuk sekarang yang mahal. Gunakan dari alam sekitar kita yang bisa dijadikan pupuk untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Yah, intinya solusi pupuk ke depannya kembali ke alami,” ujar Trijaka.

Selain itu, dalam mengatasi penyakit-penyakit lada seperti rumpun yang menguning dan busuk pangkal batang memang menjadi salah satu persoalan yang cukup banyak di lapangan. Namun semua ada solusinya.

“Solusi untuk penyakit-penyakit ini sebenarnya dengan menggunakan stek sambung dengan tanaman melada yang digunakan sebagai batang bawah untuk menanam lada yang disambungkan pada dahan atasnya,” jelas Trijaka.

Lebih lanjut Trijaka menilai dengan cara ini resiko dari penyakit-penyakit yang dialami dapat diatasi karena tanaman melada ini tahan pada kondisi tanah yang basah maupun kering. Selain itu, akar-akarnya yang besar tidak seperti lada yang serabut dan kecil-kecil akan mengurangi resiko dari penyebab akar atau pangkal batang yang busuk.

Menanggapi harga lada yang rendah, Trijaka mengatakan pemerintah saat ini berupaya mencanangkan untuk menjalankan sistem resi gudang. Resi gudang ini gunanya untuk membantu keuangan petani dengan sistem penitipan barang ke pemerintah. Namun, memang saat ini kegiatan ini belum jalan karena penangan lada dinilai masih kurang efektif.*

(Monika | Beltimnews.com)